Trik Pemerintah Wajibkan Pasangan Muda Miliki Hunian

zamarizkland

June 5, 2025

Pemerintah dalam beberapa tahun terakhir gencar mendorong kebijakan kepemilikan rumah, terutama untuk generasi muda yang baru menikah. Di balik upaya tersebut, terdapat strategi terselubung yang bisa jadi terasa seperti dorongan positif, namun juga tak jarang menimbulkan tekanan. Salah satu kebijakan utama yang digaungkan adalah kewajiban bagi pasangan muda untuk segera miliki hunian dalam jangka waktu tertentu setelah pernikahan.

Dorongan ini datang dalam bentuk program subsidi KPR, keringanan pajak, hingga DP ringan. Di permukaan, ini tampak seperti langkah mulia. Tapi bagi sebagian pasangan, tuntutan ini justru menjadi beban psikologis baru. Pasangan yang baru membangun kehidupan bersama merasa harus segera memenuhi ekspektasi sosial dan pemerintah, walau kondisi finansial belum siap.

Kebijakan tersebut, dalam banyak kasus, tak memperhitungkan ketimpangan penghasilan dan mahalnya harga tanah di kota-kota besar. Bahkan dengan bantuan program FLPP, banyak pasangan masih kesulitan mencari lokasi strategis yang layak huni. Mereka dihadapkan pada dilema: miliki hunian di pinggiran dengan fasilitas terbatas atau terus menyewa sambil menabung, dengan risiko harga rumah terus melambung.

Namun sisi positifnya tetap ada. Banyak pasangan muda yang akhirnya terdorong untuk lebih disiplin dalam merencanakan keuangan. Mereka mulai menabung sejak awal, memangkas gaya hidup konsumtif, dan mencari informasi sebanyak mungkin tentang skema pembiayaan rumah. Proses ini, meski berat, membentuk karakter dan kebiasaan finansial yang lebih dewasa.

Menurut Dimas Yudhistira, seorang analis properti nasional, “Kebijakan pemerintah yang memaksa pasangan muda untuk miliki hunian bisa efektif jika disertai dengan edukasi dan fasilitas nyata. Tanpa itu, hanya akan menimbulkan tekanan sosial yang kontraproduktif.” Pandangan ini menggambarkan pentingnya pendekatan yang tidak hanya normatif, tetapi juga responsif terhadap kondisi lapangan.

Ketika pasangan muda berhasil miliki hunian di usia produktif, dampaknya sangat terasa. Mereka memiliki stabilitas tempat tinggal, bisa fokus membangun keluarga, dan merasa lebih aman secara psikologis. Namun ketika dipaksakan, upaya ini bisa berbalik arah, memicu pertengkaran karena tekanan cicilan dan kualitas hidup yang menurun.

Dilema Miliki Hunian Dari Setiap Kebijakan Pemerintah

Miliki hunian bukan hanya soal tempat tinggal. Ia adalah lambang keberhasilan, kemapanan, dan tanggung jawab. Tapi ketika kewajiban itu datang dari luar—dari kebijakan pemerintah yang terkesan memaksa—muncul perasaan ambivalen. Di satu sisi, ingin mengikuti anjuran demi masa depan. Di sisi lain, muncul perasaan dikejar, seolah kehidupan pribadi menjadi agenda publik.

Program “Satu Keluarga Satu Rumah” yang dikampanyekan sejak 2020 misalnya, memuat aturan yang menyarankan pasangan menikah agar memiliki rumah dalam kurun waktu lima tahun. Jika tidak, mereka dianggap belum mandiri. Implikasi sosial dari narasi ini sangat besar. Banyak pasangan merasa malu jika masih tinggal bersama orang tua atau menyewa kontrakan.

Namun realitas di lapangan berkata lain. Harga rumah yang tak sebanding dengan kenaikan upah membuat mimpi untuk miliki hunian terasa semakin jauh. Terlebih bagi pasangan dengan penghasilan di bawah rata-rata, yang sering kali terjebak dalam lingkaran utang hanya karena ingin memenuhi syarat sosial tersebut.

Cerita Dita dan Bayu, pasangan muda asal Depok, menjadi gambaran nyata. Mereka tergiur mengikuti program DP nol persen dan berhasil miliki hunian di tahun pertama pernikahan. Namun tiga bulan kemudian, Bayu kehilangan pekerjaan, dan cicilan rumah menjadi beban yang menghantui tiap malam. Mereka harus menggadaikan motor, menjual perhiasan, bahkan sempat menunggak tagihan listrik.

Tapi ada juga kisah yang menginspirasi. Susi dan Tegar, yang menunda pembelian rumah selama empat tahun, memilih untuk mengumpulkan dana dengan sabar. Mereka mengikuti seminar literasi keuangan, membuka tabungan berjangka, dan menghindari kredit konsumtif. Ketika akhirnya mereka membeli rumah, mereka bisa bayar DP besar dan mengambil cicilan ringan. Rumah yang mereka miliki bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga simbol kedewasaan finansial.

Perspektif dari psikolog pernikahan, Mutiara Hapsari, menyatakan bahwa tekanan untuk segera miliki hunian bisa memicu stres dalam rumah tangga. “Alih-alih memperkuat hubungan, beban cicilan rumah yang belum tepat waktunya bisa menimbulkan konflik. Pasangan muda perlu ruang untuk tumbuh bersama, bukan diburu oleh standar kepemilikan.” Pandangan ini menyoroti bahwa keberhasilan pernikahan tidak semata diukur dari memiliki rumah.

Kebijakan yang tidak adaptif terhadap kondisi pasangan bisa menjadi bumerang. Terutama jika miliki hunian dijadikan tolok ukur utama keberhasilan hidup rumah tangga. Banyak anak muda yang akhirnya membeli rumah secara tergesa-gesa hanya karena tekanan keluarga atau lingkungan, bukan berdasarkan kesiapan pribadi.

donasi

Namun tak dapat disangkal, ketika program miliki hunian didukung dengan benar—subsidi tepat sasaran, edukasi finansial, serta penyediaan perumahan yang layak dan terjangkau—hasilnya bisa sangat baik. Generasi muda bisa tumbuh dalam lingkungan yang stabil, tanpa harus berpindah-pindah sewa, dan memiliki aset yang bisa diwariskan kepada anak cucu.

Untuk itu, pemerintah seharusnya tidak hanya fokus pada angka pencapaian atau target kepemilikan. Harus ada pendekatan holistik: pendidikan finansial sejak sekolah, dukungan psikologis bagi pasangan muda, dan fasilitas hunian yang tidak sekadar murah, tapi juga layak huni.

Related Post

Pilihan Rumah Menantimu

Bingung dengan banyaknya rumah pilihan, budget dan rekomendasi dari Agent terverifikasi ?