Primadona Mengontrak Anak-anak Gen Z

zamarizkland

July 2, 2025

Primadona Mengontrak Anak-anak Gen Z

Dalam dua dekade terakhir, pergeseran pola hidup generasi muda semakin terasa nyata. Kini, muncul fenomena yang cukup mencolok: Gen Z lebih memilih mengontrak dibanding membeli rumah. Sebuah perubahan gaya hidup atau bentuk ketidakmampuan menghadapi tekanan ekonomi? Jawabannya tak sesederhana itu.

Realita Gen Z Antara Kebebasan dan Keterbatasan

Generasi yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012 ini tumbuh dalam era digital, terbiasa dengan fleksibilitas, dan menghargai pengalaman lebih dari kepemilikan. Bagi sebagian besar Gen Z, mengontrak rumah atau apartemen memberi mereka ruang untuk bergerak, mencoba kota baru, atau mendekat ke tempat kerja tanpa harus terikat secara finansial dalam jangka panjang.

Namun, di balik kebebasan itu, ada kenyataan pahit yang tak bisa diabaikan. Harga properti yang meroket membuat sebagian besar Gen Z hanya bisa memimpikan rumah pertama mereka. Data dari Urban Development Watch mencatat bahwa 68% Gen Z di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya memilih mengontrak karena tak sanggup membayar uang muka KPR.

Menurut ekonom properti Dr. Andika Rahman, “Generasi Z menghadapi tantangan ganda—biaya hidup yang tinggi dan pertumbuhan pendapatan yang stagnan. Dalam kondisi seperti ini, mengontrak bukan pilihan, tapi jalan satu-satunya.”

Mengontrak: Pilihan Cerdas atau Jebakan Finansial?

Di sisi lain, banyak pakar yang melihat tren ini sebagai sinyal positif. Mereka menilai bahwa Generasi Z justru lebih rasional dalam mengatur keuangan. Dengan mengontrak, mereka tidak terjebak cicilan jangka panjang dan bisa lebih lincah dalam mengambil peluang kerja lintas kota atau bahkan negara.

Namun, sisi kelamnya tetap ada. Pengeluaran bulanan yang terus meningkat, kontrak tahunan yang tak menentu, hingga potensi penggusuran menjadi ancaman nyata bagi para penyewa. Tak jarang, Generasi Z yang mengontrak harus berpindah tempat tinggal berkali-kali dalam setahun, kehilangan rasa aman, dan berdampak pada kestabilan emosional.

“Ada sisi psikologis dari kepemilikan rumah yang sering diabaikan. Rasa memiliki, keamanan, dan stabilitas sangat penting bagi perkembangan seseorang. Dan itu sulit didapat jika terus-menerus mengontrak,” ujar psikolog urban, Indri Kusumawati.

Adaptasi Gaya Hidup & Implikasi Pasar Properti

Dengan meningkatnya permintaan sewa, pasar properti pun ikut bergeser. Developer kini berlomba membangun apartemen mikro, rumah petak, dan co-living space yang menyasar Generasi Z sebagai target utama. Ruang tinggal mungil dengan fasilitas bersama menjadi tren baru yang tak terelakkan.

Namun, beberapa ekonom memperingatkan efek jangka panjang. Jika generasi muda terlalu lama mengontrak, potensi pertumbuhan kekayaan mereka akan tertinggal jauh dari generasi sebelumnya. Investasi properti yang dulunya dianggap sebagai bentuk akumulasi kekayaan kini menjadi semakin sulit dijangkau.

“Dalam 20 tahun ke depan, kita bisa melihat jurang kepemilikan aset antara yang menyewa dan yang memiliki semakin lebar. Ini bukan hanya soal rumah, tapi juga soal kestabilan ekonomi jangka panjang,” tegas Rina Maulani, analis ekonomi dari Institute of Urban Futures.

Menurut data Real Estate Indonesia (REI), pada tahun 2024, permintaan untuk properti sewa jangka 1–5 tahun naik 39%, dengan Generasi Z menjadi penyumbang terbesar. Hal ini menunjukkan bahwa pasar mulai menanggapi perubahan budaya tinggal ini secara serius.

Namun, perubahan ini juga membawa tantangan baru. Dengan meningkatnya permintaan sewa, harga sewa pun ikut naik. Di Jakarta Selatan, misalnya, apartemen tipe studio yang dulu disewa Rp2 juta per bulan kini melonjak menjadi Rp3,5–4 juta. Kondisi ini membuat sebagian Generasi Z yang bergaji UMR harus berbagi ruang dengan dua hingga tiga orang lainnya hanya untuk bertahan.

Tak hanya itu, banyak penyedia kontrakan yang memanfaatkan tingginya permintaan ini dengan memperlonggar persyaratan, namun juga menurunkan kualitas bangunan dan layanan. Hal ini membuat sebagian penyewa merasa tidak dihargai, meskipun membayar cukup mahal. “Sudah mahal, sempit, bocor pula,” keluh Dita, seorang pekerja muda di Jakarta, yang telah berpindah kontrakan sebanyak tiga kali dalam dua tahun.

Di tengah semua ini, muncul suara-suara dari kalangan pakar dan komunitas anak muda yang mendorong solusi alternatif: subsidi sewa, skema kepemilikan berbagi (co-ownership), atau pengembangan kampung vertikal yang terjangkau. Sebuah tanda bahwa perdebatan antara membeli dan mengontrak akan terus berkembang, dan tidak hanya hitam-putih.

Related Post

Pilihan Rumah Menantimu

Bingung dengan banyaknya rumah pilihan, budget dan rekomendasi dari Agent terverifikasi ?