Bagi banyak orang, renovasi rumah adalah bagian dari impian besar memiliki hunian ideal. Keinginan untuk menambah ruang, mengganti desain, atau memperbarui suasana sering kali menjadi alasan utama seseorang memulai proyek renovasi. Namun, tanpa perencanaan yang matang, proses ini bisa menjadi pengalaman penuh stres, pemborosan uang, dan konflik keluarga yang berkepanjangan. Sayangnya, masih banyak yang menganggap enteng, dan gagal menghindari kesalahan paling mendasar dalam perjalanan ini.
Anggaran dan Perencanaan Menjadi Titik Awal yang Menentukan
Salah satu kesalahan terbesar yang sering terjadi adalah memulai renovasi tanpa membuat anggaran rinci. Banyak pemilik rumah terlalu percaya diri bahwa mereka bisa “mengatur sambil jalan”. Namun kenyataannya, mayoritas proyek renovasi mengalami pembengkakan biaya. Bahkan, menurut riset Indonesia Properti Institute, 65% proyek renovasi rumah di kawasan urban mengalami kenaikan anggaran sebesar 20–50% dari rencana awal.
Mengabaikan perencanaan detail berarti membuka peluang kesalahan yang mahal. Tidak sedikit yang terpaksa menghentikan proyek di tengah jalan karena kehabisan dana, atau lebih buruk lagi, terpaksa meminjam dengan bunga tinggi hanya untuk menyelesaikan renovasi dapur atau kamar anak.
“Menghindari pemborosan dimulai dari kalkulasi realistis. Masukkan biaya tak terduga minimal 10–15% dari total anggaran,” ungkap Yanti Laksmi, arsitek senior dan konsultan desain interior. Ia juga menyarankan untuk tidak langsung mempercayai estimasi verbal dari tukang atau kontraktor, dan selalu meminta rincian biaya secara tertulis.
Salah Pilih Kontraktor, Hasil Tak Sesuai Harapan
Emosi sering mengambil alih logika saat seseorang terlalu bersemangat melakukan peremajaan rumah. Inilah saat kesalahan umum terjadi, yakni memilih kontraktor atau tukang hanya berdasarkan harga termurah atau rekomendasi tanpa latar belakang yang jelas. Padahal, kualitas pekerjaan sangat bergantung pada keahlian, disiplin, dan pengalaman penyedia jasa.
Banyak cerita kelam datang dari pemilik rumah yang tidak memverifikasi portofolio kontraktornya terlebih dahulu. Mulai dari proyek molor berbulan-bulan, hasil bangunan tidak sesuai gambar, hingga kasus lebih parah: uang dibawa kabur dan pekerjaan terbengkalai.
“Kontrak kerja yang tertulis dan legalitas penyedia jasa adalah hal yang tidak bisa ditawar. Menjauhi kekeliruan ini penting agar Anda tidak berakhir di meja pengadilan,” ujar Arief Wibowo, pengacara properti yang menangani banyak sengketa renovasi rumah di Jabodetabek.
Masih banyak yang berpikir bahwa hal seperti itu hanya terjadi pada orang lain. Namun, tanpa verifikasi dan pengawasan berkala, risiko itu bisa menimpa siapa saja—dan biayanya jauh lebih mahal dari sekadar membayar jasa profesional sejak awal.
Gagal Menyesuaikan dengan Fungsi dan Kebutuhan
Tidak sedikit orang yang terjebak dalam tren desain tanpa mempertimbangkan fungsionalitas ruang. Misalnya, memaksakan konsep open space padahal keluarga butuh ruang privasi, atau mengganti seluruh lantai dengan marmer mahal hanya karena “tampilannya mewah”. Ini adalah kesalahan desain yang bisa membuat rumah terasa tidak nyaman, bahkan menyulitkan aktivitas sehari-hari.
“Peremajaan bukan soal mengikuti tren, tapi menyesuaikan ruang dengan pola hidup penghuninya,” ujar Fadli Gunawan, dosen arsitektur dari Universitas Trisakti. Ia menambahkan bahwa menjauhi kelalaian dalam desain bisa dimulai dari mendengarkan kebutuhan anggota keluarga, bukan hanya ego pribadi.
Peremajaan dapur menjadi contoh nyata. Banyak pemilik rumah yang ingin membuat dapur terlihat Instagramable, tetapi melupakan sirkulasi udara, pencahayaan alami, dan akses ke ruang makan. Hasilnya? Dapur terlihat cantik di foto, namun tidak nyaman saat digunakan sehari-hari.
Izin dan Legalitas Hal yang Sering Diremehkan
Salah satu kesalahan yang sering tidak disadari saat renovasi rumah adalah mengabaikan izin dari pemerintah daerah. Meskipun proyek kecil seperti pengecatan atau penambahan kanopi sering dianggap sepele, namun proyek yang lebih besar seperti menambah lantai, mengubah fasad, atau memperluas bangunan wajib memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Mengabaikan proses ini bisa berakibat fatal. Di beberapa kota besar, pelanggaran seperti ini bisa berujung pada pembongkaran paksa oleh pihak berwenang, denda, atau bahkan pemblokiran sertifikat rumah.
“Banyak orang berpikir, ‘yang penting rumah sendiri’. Tapi regulasi tetap berlaku. Menjauhi kekeliruan legal seperti ini adalah bentuk perlindungan terhadap investasi jangka panjang,” tegas Herlambang Sitorus, pakar hukum properti dan dosen Universitas Padjadjaran.
Ia menyarankan agar sebelum memulai peremajaan, pemilik rumah berkonsultasi ke dinas tata kota atau minimal membaca peraturan zonasi daerah tempat tinggalnya. Proses ini memang tampak rumit, namun jauh lebih aman daripada menghadapi sanksi di kemudian hari.
Untuk itu selalu gunakan legalitas yang sudah dipercayakan oleh zamarizk dengan klik whatsapp disini