Bolehkah Mengubah Status Tanah Kuning Menjadi Hijau

zamarizkland

August 26, 2025

Bolehkah Mengubah Status Tanah Kuning Menjadi Hijau

Pertanyaan bolehkah mengubah status tanah kuning menjadi hijau kerap muncul di tengah masyarakat yang ingin memanfaatkan lahan untuk kepentingan tertentu. Dalam tata ruang kota, warna kuning biasanya mengacu pada peruntukan lahan untuk permukiman, sementara warna hijau lebih sering dikaitkan dengan ruang terbuka hijau atau pertanian. Perubahan status ini bukan sekadar formalitas, tetapi membawa dampak luas bagi aspek ekonomi, sosial, hingga lingkungan.

Apa Makna di Balik Warna Kuning dan Hijau?

Dalam peta tata ruang, setiap warna memiliki arti yang mengikat secara hukum. Warna kuning berarti tanah diperuntukkan bagi perumahan atau fasilitas pendukung hunian, sementara hijau identik dengan area resapan air, pertanian, atau konservasi.

Pakar tata kota dari ITB, Prof. Irwan, menjelaskan bahwa pengaturan status lahan ini dibuat agar pembangunan kota tidak berjalan semrawut. Bila ada pihak yang bertanya bolehkah mengubah status tanah kuning menjadi hijau, maka jawabannya tidak semata-mata ya atau tidak, melainkan harus melalui kajian mendalam, termasuk aspek daya dukung lingkungan.

Hal ini menunjukkan bahwa setiap perubahan bukan hanya urusan administrasi, tetapi juga menyangkut kepentingan masyarakat luas. Dengan kata lain, di balik warna pada peta, ada makna strategis yang menyentuh kehidupan sehari-hari.

Potensi dan Kebermanfaat Perubahan Lahan

Jika suatu lahan berstatus kuning kemudian diubah menjadi hijau, ada beberapa manfaat yang bisa dirasakan. Pertama, dari segi lingkungan, alih status menjadi hijau memperluas ruang terbuka, meningkatkan daya serap air, serta mengurangi risiko banjir di kawasan perkotaan. Kedua, dari sisi sosial, area hijau bisa dijadikan tempat rekreasi, olahraga, atau pertanian kota yang bermanfaat bagi masyarakat.

Ekonom lingkungan, Rachmat Wibowo, menyatakan bahwa kota dengan lebih banyak ruang hijau akan memiliki nilai properti yang lebih stabil. “Kawasan dengan taman kota atau lahan hijau cenderung lebih diminati, karena memberi kualitas hidup lebih baik,” ujarnya.

Selain itu, perubahan status ini dapat membuka peluang investasi baru, misalnya pembangunan ekowisata atau agrowisata. Data dari Kementerian Pariwisata tahun 2023 menunjukkan bahwa destinasi berbasis ruang hijau mengalami pertumbuhan kunjungan hingga 18% dibanding kawasan perkotaan biasa. Fakta ini menguatkan argumen bahwa menjawab pertanyaan bolehkah mengubah status tanah kuning menjadi hijau dengan persetujuan jelas bisa menjadi peluang ekonomi.

Risiko, Kontroversi, dan Kerugian

Namun, tidak semua pihak setuju dengan perubahan status tanah dari kuning ke hijau. Dari sisi pemilik lahan, perubahan ini bisa menjadi pukulan telak. Tanah yang semula bernilai tinggi karena bisa dibangun perumahan, otomatis kehilangan potensi keuntungan ketika statusnya berubah menjadi lahan hijau.

Pakar real estate, Anton Wijaya, menegaskan bahwa harga tanah kuning di perkotaan bisa mencapai tiga kali lipat dibandingkan tanah hijau. Maka, menjawab pertanyaan bolehkah mengubah status tanah kuning menjadi hijau, sebagian besar investor tentu akan menolak karena berpotensi menurunkan nilai aset mereka secara drastis.

Selain itu, proses perubahan status tanah sering kali menimbulkan konflik kepentingan. Pemerintah daerah, pengembang, hingga warga bisa saling tarik menarik. Tidak jarang, kebijakan ini juga dikaitkan dengan praktik politik dan lobi tertentu. Masyarakat pun bisa merasa dirugikan jika perubahan dilakukan tanpa transparansi.

Sentimen buruk ini menggambarkan bahwa meskipun ada niat baik menjaga keseimbangan lingkungan, implementasinya sering kali menimbulkan gesekan emosional, terutama ketika menyangkut nilai ekonomi tanah yang sangat besar.

Perspektif Ekonomi dan Regulasi

Dari sisi regulasi, perubahan status tanah diatur melalui Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dalam acuan AMDAL. Pemerintah daerah memiliki wewenang untuk menetapkan perubahan, tetapi tetap harus melalui mekanisme kajian akademis dan persetujuan pusat jika berdampak signifikan.

Ekonom properti, Aviliani, menegaskan bahwa setiap perubahan tata ruang memiliki implikasi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. “Jika terlalu banyak lahan hijau, potensi pembangunan hunian bisa terbatas. Sebaliknya, jika terlalu banyak lahan kuning, risiko banjir dan kerusakan lingkungan meningkat,” ujarnya.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada 2022, 32% kota besar di Indonesia mengalami defisit ruang terbuka hijau. Ini berarti kebutuhan akan lahan hijau semakin mendesak, meski di sisi lain, permintaan perumahan terus melonjak. Inilah dilema yang membuat pertanyaan bolehkah mengubah status tanah kuning menjadi hijau menjadi isu yang selalu panas dibicarakan.

Pergulatan Emosional Antara Lingkungan dan Ekonomi

Pertanyaan ini bukan sekadar teknis, melainkan menyentuh aspek emosional masyarakat. Bagi aktivis lingkungan, perubahan tanah kuning menjadi hijau adalah bentuk kepedulian pada generasi mendatang. Mereka melihatnya sebagai langkah menyelamatkan kota dari ancaman bencana ekologis.

Namun, bagi pemilik tanah atau pengembang, hal tersebut bisa dianggap sebagai perampasan hak ekonomi. Ada rasa ketidakadilan ketika nilai properti anjlok hanya karena kebijakan tata ruang. Bahkan, beberapa kasus di kota besar memperlihatkan bagaimana masyarakat menggugat pemerintah karena merasa dirugikan.

Pergulatan antara logika ekonomi dan nurani lingkungan ini membuat pertanyaan bolehkah mengubah status tanah kuning menjadi hijau seakan tidak pernah memiliki jawaban yang memuaskan semua pihak. Ada pihak yang diuntungkan, ada pula yang merasa kehilangan.

Related Post

Pilihan Rumah Menantimu

Bingung dengan banyaknya rumah pilihan, budget dan rekomendasi dari Agent terverifikasi ?