Benarkah Penjualan Rumah di Tahun 2025 Sulit?

zamarizkland

August 18, 2025

Benarkah Penjualan Rumah di Tahun 2025 Sulit?

Pasar properti selalu menjadi topik hangat di Indonesia, terutama ketika memasuki tahun baru. Banyak orang mulai bertanya-tanya, benarkah penjualan rumah di tahun 2025 sulit? Pertanyaan ini muncul seiring berbagai kondisi ekonomi global maupun domestik yang penuh ketidakpastian.

Sebagian pihak melihat adanya peluang besar karena kebutuhan hunian di Indonesia masih sangat tinggi. Namun, tidak sedikit pula yang memandang suram, dengan alasan suku bunga kredit yang fluktuatif, daya beli masyarakat yang tertekan, hingga ancaman perlambatan ekonomi.

Kondisi ini menciptakan suasana emosional yang campur aduk, antara optimisme dan kekhawatiran, sehingga calon pembeli maupun penjual rumah merasa berada di persimpangan sulit.

Sektor Pasar Properti di Tahun 2025

Menurut data dari Bank Indonesia, sektor properti pada 2024 masih tumbuh sekitar 3,5%. Angka ini memang stabil, tetapi lebih rendah dibandingkan pertumbuhan sebelum pandemi. Perubahan gaya hidup generasi muda juga ikut memengaruhi pola konsumsi, di mana banyak anak muda lebih memilih fleksibilitas sewa dibanding mengikat diri pada cicilan panjang.

Dari sudut pandang ekonom, ada sinyal bahwa tantangan di 2025 bisa lebih besar. Inflasi yang belum sepenuhnya terkendali, ditambah ketidakpastian global, membuat biaya pembangunan naik signifikan. Jika harga material terus melonjak, harga rumah akan ikut terkerek. Hal inilah yang memicu dugaan bahwa penjualan rumah di tahun 2025 sulit terjadi secara masif, khususnya untuk rumah kelas menengah ke atas.

Faktor yang Memperburuk Situasi

Beberapa pakar real estate menyebut ada faktor-faktor yang membuat kondisi pasar tidak seindah yang dibayangkan. Pertama, tingginya suku bunga KPR. Ketika suku bunga naik, kemampuan masyarakat untuk membeli rumah otomatis menurun. Bank Indonesia pada kuartal terakhir 2024 mencatat tren kenaikan suku bunga acuan yang berimbas pada sektor properti.

Kedua, adanya penurunan daya beli masyarakat akibat tekanan ekonomi. Riset Lembaga Demografi UI menunjukkan bahwa lebih dari 40% keluarga kelas menengah menunda pembelian rumah karena fokus pada kebutuhan primer. Ketiga, regulasi perizinan lahan yang berbelit masih menjadi hambatan bagi pengembang.

Situasi ini menambah kesan negatif bahwa memang penjualan rumah di tahun 2025 sulit, terutama di kota besar dengan harga tanah yang sudah tinggi. Banyak calon pembeli merasa frustrasi, sementara pengembang mulai mengeluhkan tingginya stok rumah tak terjual.

Ada Pola dan Celah Strategis Hunian Rumah

Meski gambaran suram mendominasi, ada sisi baik yang tidak boleh diabaikan. Menurut Ketua Asosiasi Real Estate Indonesia (REI), kebutuhan hunian nasional masih mencapai lebih dari 12 juta unit. Angka backlog ini menunjukkan bahwa permintaan tetap ada, hanya terkendala masalah aksesibilitas harga dan pembiayaan.

Selain itu, pemerintah juga berencana memperkuat program subsidi perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) diperkirakan tetap menjadi motor penjualan rumah sederhana di 2025. Dengan adanya insentif tersebut, benarkah penjualan rumah di tahun 2025 sulit? Jawabannya bisa jadi tidak sepenuhnya, karena masih ada ceruk pasar yang bertahan.

Bagi investor, kondisi yang menekan harga properti justru bisa menjadi peluang emas. Saat pasar lesu, harga rumah cenderung stagnan atau bahkan menurun, sehingga waktu ini dianggap tepat untuk membeli aset jangka panjang dengan nilai apresiasi di masa depan.

Catatan Ekonomi Dalam Pasar Properti

Ekonom senior Aviliani menilai bahwa 2025 memang akan menjadi tahun penuh tantangan, namun bukan berarti seluruh pasar properti akan mati. Ia menyebut, “Kelas menengah ke bawah masih memiliki potensi besar, apalagi jika pemerintah memperkuat stimulus pembiayaan. Tantangannya adalah bagaimana pengembang menyesuaikan produk agar lebih terjangkau.”

Sementara itu, pakar properti Panangian Simanungkalit menegaskan bahwa pasar properti selalu bersiklus. “Ketika harga terlalu tinggi dan pasar melambat, biasanya dalam dua sampai tiga tahun akan ada penyesuaian yang membuka ruang pemulihan. Jadi tidak selalu benar jika dikatakan penjualan rumah di tahun 2025 sulit, karena kita juga harus melihat tren jangka panjang,” jelasnya.

Pendapat ini seakan memberi napas optimisme, meskipun tetap ada catatan bahwa strategi adaptif diperlukan baik bagi pengembang maupun pembeli.

Kontradiktif Serta Kecemasan Konsumen

Dari sisi emosional, banyak calon pembeli merasa takut melewatkan kesempatan memiliki rumah karena khawatir harga akan terus naik. Namun di saat yang sama, ada rasa ragu dan bahkan kecewa ketika melihat cicilan KPR semakin memberatkan. Perasaan kontradiktif ini menciptakan kebingungan, apakah menunggu lebih bijak, atau justru mengambil langkah berani sekarang?

Bagi pengembang, ketidakpastian pasar menimbulkan rasa frustrasi. Rumah yang sudah dibangun bisa menumpuk tanpa pembeli, sementara biaya operasional terus berjalan. Tetapi, mereka juga melihat adanya peluang ketika mampu menyesuaikan produk sesuai kebutuhan pasar, seperti rumah kompak dengan harga lebih ramah kantong generasi muda.

Kondisi ini menegaskan bahwa pertanyaan benarkah penjualan rumah di tahun 2025 sulit tidak bisa dijawab hitam putih. Ada faktor buruk yang membuat pesimis, namun juga ada harapan yang memberi secercah cahaya.

Related Post

Pilihan Rumah Menantimu

Bingung dengan banyaknya rumah pilihan, budget dan rekomendasi dari Agent terverifikasi ?