Di tengah krisis iklim dan urbanisasi yang semakin tidak terkendali, keputusan membeli rumah kini bukan hanya soal lokasi dan harga, tetapi juga seberapa ramah lingkungan hunian tersebut. Semakin banyak keluarga muda yang sadar bahwa tempat tinggal tidak hanya harus nyaman dan aman, tetapi juga memberi kontribusi positif terhadap bumi. Namun, di balik idealisme itu, muncul pertanyaan besar, apakah rumah yang ramah lingkungan benar-benar layak dibeli atau justru menambah beban finansial?
Trend Eco Living Justru Jadi Pilihan Pengembang Perumahan
Ketika istilah “eco-living” mulai merambah brosur properti, banyak pengembang berlomba mencantumkan label ramah lingkungan sebagai daya tarik utama. Mulai dari penggunaan solar panel, pengelolaan limbah mandiri, hingga desain hemat energi, semua dikemas dengan jargon hijau yang menjanjikan kehidupan berkelanjutan.
Namun tak sedikit yang mempertanyakan: apakah ini hanya strategi pemasaran semata? Atau memang ada perubahan nyata di dalam sistemnya?
Menurut Arif Kurniawan, pakar properti berkelanjutan dari Green Architecture Forum Indonesia, “Hunian ramah lingkungan bukan sekadar soal label. Ia harus terintegrasi dari desain, material, hingga penggunaan energi sehari-hari. Jika hanya tempelan sertifikasi, itu artinya sekadar kosmetik.”
Mereka yang benar-benar serius ingin membeli rumah ramah lingkungan perlu menggali lebih dalam. Apakah rumah tersebut memiliki sistem pengolahan air hujan? Apakah material bangunan berasal dari sumber berkelanjutan? Apakah ada ruang terbuka hijau yang cukup? Ini semua adalah indikator nyata yang harus diperiksa langsung, bukan hanya percaya brosur.
Biaya yang Cenderung Bikin Shock tapi Awet
Salah satu tantangan utama dalam membeli rumah ramah lingkungan adalah harga. Tidak bisa dipungkiri, teknologi dan material yang digunakan biasanya lebih mahal daripada rumah biasa. Misalnya, kaca low-e untuk mengurangi panas, solar panel, atau instalasi daur ulang air abu-abu memerlukan investasi awal yang tinggi.
Namun, dari sisi lingkungan dan penghematan jangka panjang, rumah-rumah ini terbukti lebih efisien. Penggunaan listrik dan air bisa ditekan hingga 30–50%, sehingga tagihan bulanan lebih ringan. Dalam riset yang dilakukan oleh Global Green Property Watch tahun 2023, rumah dengan desain hijau memiliki penghematan energi rata-rata Rp700.000 – Rp1.200.000 per bulan dibanding rumah konvensional berukuran serupa.
Ekonom pembangunan, Dita Febriana, menegaskan bahwa “Banyak orang terlalu fokus pada biaya awal. Padahal, jika dihitung selama 10–15 tahun, hunian ramah lingkungan jauh lebih hemat, baik dari sisi energi maupun biaya kesehatan.”
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa akses terhadap rumah semacam ini masih sangat terbatas, terutama di luar kota besar. Sebagian besar rumah ramah lingkungan hanya tersedia di perumahan elit, dengan harga yang tidak terjangkau masyarakat menengah ke bawah. Ini membuat keinginan untuk hidup hijau menjadi hak istimewa yang tidak semua orang bisa nikmati.
Rumah Konsep Eco Living Membuatmu Panjang Umur
Membeli rumah yang mengedepankan keberlanjutan tidak hanya berdampak pada dompet dan lingkungan, tapi juga pada kualitas hidup. Rumah yang sehat, sejuk, dan tidak penuh polusi membantu menciptakan suasana keluarga yang lebih tenang dan harmonis. Anak-anak tumbuh dengan udara yang bersih, ruang bermain alami, dan paparan sinar matahari yang cukup.
Sayangnya, rumah konvensional di perkotaan sering kali justru menjadi sumber stres. Minim ventilasi, suara bising dari jalan raya, dan suhu panas karena minim pohon semuanya berdampak negatif terhadap keseharian penghuninya.
“Lingkungan tempat tinggal yang buruk dapat meningkatkan risiko depresi, gangguan tidur, dan berbagai masalah pernapasan,” ungkap Prof. Yuli Andini, psikiater lingkungan dari Universitas Indonesia. Ia menyebutkan bahwa hidup di kawasan yang sejuk dan hijau berbanding lurus dengan kebahagiaan dan produktivitas individu.
Namun meskipun banyak manfaatnya, tidak semua orang siap beradaptasi. Misalnya, sistem rumah ramah lingkungan sering kali menggunakan toilet hemat air yang terasa kurang nyaman, atau sistem pencahayaan alami yang mengharuskan penghuni disiplin dalam membuka-tutup jendela. Perubahan gaya hidup ini bisa menjadi hambatan, terutama bagi mereka yang sudah terbiasa hidup serba otomatis.
Pilihan Rumah Kembali Kepada Masing2 Keputusan Matang
Lebih dari sekadar properti, keputusan membeli rumah yang ramah lingkungan mencerminkan nilai hidup dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang. Dalam konteks krisis iklim yang semakin nyata dari cuaca ekstrem, banjir, hingga polusi udara rumah tidak bisa lagi dibangun dengan prinsip lama yang hanya mengutamakan estetika dan efisiensi lahan.
Saat ini, banyak komunitas urban mulai beralih ke sistem hunian yang mendukung gaya hidup sadar lingkungan: kompos domestik, penggunaan energi terbarukan, pertanian vertikal didalam rumah, hingga kolaborasi pengelolaan sampah. Meski terdengar idealis, tren ini mulai tumbuh dan membentuk kesadaran baru dalam memilih rumah.
Budi Hartono, pengembang dari Ekowood Living, mengungkapkan bahwa 37% klien baru mereka memprioritaskan aspek keberlanjutan dalam proses pembelian rumah, bahkan mengorbankan ukuran rumah demi mendapatkan pencahayaan alami dan ruang terbuka hijau yang lebih luas.
Namun, tantangan tetap ada. Di tengah inflasi dan naiknya harga tanah, banyak keluarga yang akhirnya memilih membeli rumah konvensional karena pertimbangan harga. Meskipun hati ingin berkontribusi pada penyelamatan lingkungan, kenyataan finansial tetap menjadi batas yang sulit ditembus.