Rumah adalah salah satu cerminan identitas budaya. Di Indonesia, keragaman arsitektur tradisional memberikan gambaran bagaimana masyarakat menyesuaikan diri dengan alam, lingkungan, dan kebutuhan sosial. Salah satu wujud arsitektur yang unik adalah rumah panggung, Artikel ini mengajak kita mengenal konsep rumah panggung yang sudah dikenal sejak tempo dulu, lengkap dengan sentimen filosofi dan sejarahnya.
Filosofi dan Sejarah Rumah Panggung
Sejak ratusan tahun lalu, masyarakat Nusantara telah membangun rumah panggung sebagai bentuk adaptasi terhadap kondisi geografis. Hampir di setiap daerah, dari Sumatra, Kalimantan, Sulawesi hingga Papua, rumah panggung memiliki ciri khasnya masing-masing. Secara sederhana, rumah panggung adalah hunian yang ditopang tiang-tiang kayu, membuat bangunannya berada di atas permukaan tanah.
Menurut antropolog budaya, Prof. Koentjaraningrat, rumah panggung bukan sekadar tempat tinggal, melainkan simbol hubungan manusia dengan alam. Tiang-tiang tinggi dipercaya melindungi penghuni dari bahaya banjir, binatang buas, hingga gangguan spiritual. Dalam pandangan masyarakat tradisional, hal ini adalah bentuk harmoni antara manusia dan lingkungannya. Maka, tak heran jika mengenal konsep rumah panggung tempo dulu membuka wawasan tentang betapa cerdasnya nenek moyang dalam beradaptasi.
Arsitektur Kelas Dunia dan Ramah Lingkungan
Bila dilihat dengan kacamata modern, rumah panggung memiliki banyak keunggulan. Pertama, sistem ventilasinya sangat baik. Udara mengalir bebas melalui celah-celah lantai kayu, menciptakan kesejukan alami meski tanpa pendingin udara. Kedua, desain rumah panggung juga terbukti ramah lingkungan karena memanfaatkan material lokal seperti kayu, bambu, dan ijuk.
Arsitek kontemporer, Yori Antar, pernah menegaskan bahwa rumah panggung adalah bentuk arsitektur berkelanjutan yang bisa menjadi inspirasi pembangunan modern. Struktur rumah ini hemat energi, tidak merusak tanah, dan bisa dipindahkan jika dibutuhkan. Hal ini sejalan dengan tren arsitektur hijau yang kini banyak dipromosikan.
Selain itu, rumah panggung juga memberikan rasa aman. Ketinggian rumah dari tanah melindungi penghuni dari genangan banjir, hewan liar, bahkan serangan musuh pada masa lampau. Keunggulan-keunggulan ini membuat sebagian kalangan menganggap bahwa melestarikan konsep rumah panggung berarti menjaga kearifan lokal yang penuh manfaat.
Keterbatasan di Era Modern
Namun, mengenal konsep rumah panggung tempo dulu juga tidak bisa lepas dari sisi negatifnya. Dari sudut pandang ekonomi, biaya pembangunan rumah panggung bisa cukup mahal karena membutuhkan kayu berkualitas tinggi yang saat ini kian langka. Kayu jati atau ulin, yang dulunya banyak digunakan, kini harganya melambung dan sulit diperoleh.
Selain itu, banyak orang modern menilai rumah panggung kurang praktis. Lantai kayu sering kali menimbulkan bunyi berderit, rawan dimakan rayap, dan memerlukan perawatan intensif. Arsitektur bertingkat yang harus naik turun tangga setiap hari juga dianggap tidak nyaman bagi lansia atau penyandang disabilitas.
Pakar real estate, Anton Suryawan, menilai bahwa rumah panggung cenderung memiliki nilai pasar lebih rendah di perkotaan. “Konsumen kota lebih memilih rumah permanen berbahan beton yang dianggap lebih kokoh dan prestisius,” ujarnya. Data dari Indonesia Property Watch menunjukkan bahwa hanya 7% pembeli di kota besar yang mempertimbangkan rumah bergaya panggung sebagai pilihan utama.
Perspektif Ekonomi dan Potensi Investasi
Meski memiliki keterbatasan, rumah panggung tetap menyimpan potensi ekonomi. Menurut ekonom pembangunan, Aviliani, desain rumah tradisional seperti panggung bisa menjadi daya tarik pariwisata. Banyak investor properti di daerah wisata seperti Bali, Lombok, dan Toraja yang membangun vila dengan konsep panggung untuk menarik wisatawan mancanegara.
Laporan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) tahun 2022 menyebutkan bahwa akomodasi berbasis arsitektur tradisional mengalami kenaikan okupansi hingga 15% dibanding penginapan modern biasa. Wisatawan asing tertarik pada pengalaman autentik, termasuk tinggal di rumah panggung. Hal ini membuktikan bahwa nilai budaya masih bisa dikonversi menjadi keuntungan finansial bila dikemas dengan tepat.
Selain itu, tren global menuju arsitektur ramah lingkungan membuat rumah panggung kembali dilirik. Di beberapa negara Asia Tenggara, konsep serupa mulai diterapkan untuk hunian modern, tetapi dengan sentuhan teknologi baru. Misalnya, penggunaan kayu olahan tahan rayap atau perpaduan baja ringan dengan desain tradisional. Artinya, meskipun dianggap kuno, rumah panggung tetap punya ruang di era modern jika dikemas sesuai kebutuhan zaman.
Pergulatan Emosi Antara Tradisi dan Modernitas
Perdebatan tentang rumah panggung sering kali bernuansa emosional. Bagi masyarakat adat, meninggalkan rumah panggung sama saja dengan meninggalkan identitas dan jati diri. Ada rasa bangga ketika bisa mempertahankan tradisi leluhur yang diwariskan sejak tempo dulu. Rumah panggung bukan hanya tempat tinggal, melainkan juga simbol kebersamaan, gotong royong, dan ikatan dengan alam.
Namun, bagi generasi muda urban, rumah panggung dianggap kurang relevan. Mereka lebih memilih apartemen praktis atau rumah modern dengan segala fasilitas digital. Bahkan, beberapa orang menganggap rumah panggung ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan gaya hidup serba cepat.
Ketegangan ini melahirkan kompromi. Beberapa arsitek mencoba menghadirkan desain rumah panggung modern: struktur panggung tetap ada, tetapi material yang digunakan lebih tahan lama, seperti baja ringan dan beton. Dengan begitu, nilai tradisi tetap dipertahankan, namun kebutuhan kenyamanan modern juga terpenuhi.