Menilai Properti dari Sudut Pandang Gen Z

zamarizkland

July 29, 2025

Menilai Properti dari Sudut Pandang Gen Z

Bicara soal menilai properti, generasi Z tidak lagi menggunakan kacamata yang sama seperti orang tua mereka. Generasi yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012 ini membawa perspektif baru dalam dunia investasi, termasuk dalam sektor properti. Mereka tumbuh di era digital, akrab dengan krisis iklim, dan menyaksikan langsung dampak resesi global. Maka tak heran, jika sudut pandang Gen Z dalam membeli atau menilai rumah sering kali mengejutkan banyak pelaku industri.

Berbeda dengan generasi sebelumnya yang menjadikan rumah sebagai simbol stabilitas, Gen Z lebih mempertanyakan: apakah membeli rumah masih relevan? Apakah tanah masih menjadi aset paling aman? Ataukah lebih baik menyewa dan menyimpan modal untuk pengalaman atau bisnis digital?

Keunikan dalam Setiap Keputusan Generasi Z

Dalam menilai properti, Gen Z tidak hanya berbicara soal harga per meter persegi atau nilai kenaikan aset tahunan. Mereka memasukkan elemen estetika, keberlanjutan, dan nilai-nilai etis ke dalam keputusan. Mereka cenderung memilih rumah minimalis, dengan desain terbuka, dekat dengan transportasi umum, dan ramah lingkungan.

“Sudut pandang Gen Z dalam properti tidak hanya soal memiliki, tapi juga soal nilai sosial dan kenyamanan hidup,” ujar Maya Rachmadini, pengamat gaya hidup urban dari Urban Insight Indonesia. Ia menyebut bahwa Gen Z sangat memperhatikan apakah properti tersebut mendukung gaya hidup berkelanjutan mulai dari penggunaan material bangunan, pengelolaan limbah, hingga jarak ke pusat kota.

Namun di sisi lain, standar tinggi ini membuat Gen Z sering kesulitan menemukan properti yang sesuai. Banyak rumah yang dibangun pengembang tidak memenuhi ekspektasi visual dan etis Gen Z. Akibatnya, mereka menunda keputusan membeli rumah atau bahkan sepenuhnya memilih untuk tidak memiliki properti.

Dari survei yang dilakukan oleh Rumah com pada tahun 2024, hanya 23% Gen Z yang berusia 22–28 tahun menyatakan tertarik untuk membeli properti dalam lima tahun ke depan. Sisanya lebih memilih menyewa, tinggal bersama orang tua, atau menggunakan uangnya untuk memulai usaha digital.

Ketidakmampuan Membeli di Tengah Kenaikan Harga

Salah satu konflik emosional dalam menilai properti dari sudut pandang Gen Z adalah kenyataan bahwa mayoritas dari mereka tidak mampu membeli rumah secara konvensional. Gaji UMR yang stagnan dan harga tanah yang terus melambung membuat kepemilikan rumah terasa seperti mimpi yang jauh.

“Generasi ini menghadapi disrupsi ekonomi, inflasi pendidikan, dan biaya hidup tinggi. Secara objektif, banyak dari mereka memang tidak punya daya beli untuk properti primer,” ujar Andi Hartono, ekonom properti dari Universitas Padjajaran.

Namun, bukan berarti Gen Z tidak tertarik pada properti. Justru mereka semakin pintar dan kritis dalam menganalisis skema investasi. Banyak yang tertarik pada co-living, rumah susun mikro, atau proyek properti berbasis komunitas yang lebih fleksibel dan bisa dibeli secara bertahap dengan sistem hybrid ownership.

Ini juga menjelaskan mengapa platform digital seperti crowdfunding properti atau aplikasi investasi real estate berbasis blockchain mulai dilirik oleh Gen Z. Bagi mereka, memiliki sebagian kecil unit properti secara digital terasa lebih logis daripada menanggung beban KPR 25 tahun untuk rumah yang tidak sesuai ekspektasi gaya hidup mereka.

Memiliki Rumah Sudah Bukan Jadi Standar Kesuksesan

Gen Z memiliki hubungan yang unik dengan konsep kepemilikan. Dalam sudut pandang Gen Z, memiliki rumah tidak lagi menjadi standar kesuksesan, tetapi hanya salah satu pilihan dari banyak cara untuk hidup nyaman. Mereka cenderung menghargai fleksibilitas, mobilitas, dan pengalaman dibanding status sosial dari rumah besar di pinggiran kota.

“Menilai properti tidak selalu harus diukur dengan ‘rumah tapak tiga kamar di pinggir Jakarta’. Bagi Gen Z, apartemen studio di pusat kota atau co-living space dengan rooftop garden bisa lebih bernilai,” jelas Fitria Andalas, perencana keuangan yang banyak menangani klien milenial dan Gen Z.

Namun, sudut pandang ini juga memunculkan kritik dari generasi lebih tua. Banyak orang tua yang merasa Gen Z terlalu santai dan tidak memikirkan masa depan. Mereka menilai bahwa menunda kepemilikan rumah sama saja dengan mengabaikan kestabilan finansial jangka panjang.

Kritik ini tidak sepenuhnya salah. Dalam beberapa kasus, terlalu lama menunda pembelian properti bisa membuat Gen Z kehilangan momentum ketika harga properti naik drastis. Namun Gen Z juga punya argumen mengikat diri pada cicilan rumah tanpa kesiapan mental dan finansial justru lebih berbahaya.

Pentingnya Adaptasi Para Pengembang Perumahan

Melihat tren ini, beberapa pengembang mulai melakukan penyesuaian. Mereka tidak lagi hanya membangun rumah besar dengan harga miliaran, tetapi mulai menawarkan produk yang lebih sesuai dengan sudut pandang Gen Z seperti apartemen compact, smart home yang terhubung dengan IoT, dan unit-unit kecil dengan akses fasilitas publik yang lengkap.

Pengembang juga mulai memanfaatkan media sosial dan platform digital untuk melakukan pendekatan emosional kepada Gen Z. Mereka tahu bahwa generasi ini tidak hanya membeli rumah, tetapi juga membeli cerita, pengalaman, dan koneksi sosial yang melekat pada properti itu sendiri.

Namun belum semua pelaku industri menyadari pentingnya perubahan cara menilai properti yang terjadi di kalangan Gen Z. Banyak dari mereka masih berpatokan pada asumsi lama bahwa rumah hanyalah soal harga dan lokasi, tanpa memperhitungkan nilai-nilai emosional, keberlanjutan, dan fleksibilitas yang sangat dijunjung tinggi oleh generasi baru ini.

Related Post

Pilihan Rumah Menantimu

Bingung dengan banyaknya rumah pilihan, budget dan rekomendasi dari Agent terverifikasi ?