Penyebab Harga Tanah dan Properti Menurun

zamarizkland

July 30, 2025

Penyebab Harga Tanah dan Properti Menurun

Di tengah harapan akan kenaikan nilai properti dari tahun ke tahun, kenyataan bisa berkata sebaliknya. Fenomena harga tanah dan properti yang menurun menjadi alarm bagi para pemilik aset dan calon investor. Di balik penurunan ini, ada banyak penyebab yang kompleks dan saling berkaitan, mulai dari perubahan pola hidup masyarakat, gangguan ekonomi global, hingga kesalahan strategi pengembang. Semua ini menjadikan pasar properti lebih dinamis, tapi juga menantang dan penuh risiko emosional serta finansial.

Bagi sebagian orang, menyaksikan properti menurun nilainya setelah mengeluarkan miliaran rupiah adalah kekecewaan besar. Namun bagi sebagian lainnya, situasi ini justru membuka peluang untuk membeli di titik terendah. Kuncinya adalah memahami penyebab utama agar bisa mengambil langkah cerdas dan tidak terjebak dalam euforia atau kepanikan.

Tidak Sesuai Pasokan dan Permintaan Pembeli

Salah satu penyebab paling dominan dari harga tanah dan properti menurun adalah ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan. Banyak pengembang membangun proyek besar-besaran tanpa riset mendalam tentang daya beli dan kebutuhan pasar. Akibatnya, properti menumpuk tak laku, harga mulai stagnan, dan perlahan turun demi mengejar penjualan cepat.

“Ini seperti hukum alam. Ketika pasokan terlalu besar dan permintaan tidak mengimbangi, harga pasti terdampak,” ujar Yustinus Tarigan, ekonom properti dari Indonesia Property Institute.

Fenomena ini banyak terjadi di kota-kota satelit seperti Cikarang, Karawang, dan Serang, di mana proyek-proyek baru bermunculan tanpa dukungan infrastruktur yang cukup. Para pengembang berharap industri menyusul masuk, tapi kenyataan berbeda. Akibatnya, tanah dan unit properti tidak terjual, atau terjual dengan diskon besar.

Dalam banyak kasus, apartemen yang dulunya dijual Rp600 juta kini turun menjadi Rp450 juta hanya dalam dua tahun. Ini tidak hanya merugikan investor awal, tapi juga merusak persepsi pasar tentang prospek kawasan tersebut.

Ketidakstabilan Ekonomi dan Suku Bunga Bank

Harga tanah sangat dipengaruhi oleh faktor makroekonomi. Saat kondisi ekonomi melemah, daya beli masyarakat menurun. Sementara itu, suku bunga kredit meningkat, sehingga banyak orang menunda pembelian rumah. Ini menjadi salah satu penyebab besar properti menurun dalam beberapa tahun terakhir.

Bank Indonesia mencatat bahwa pada tahun 2023, terjadi penurunan aplikasi KPR sebesar 11% akibat kenaikan suku bunga acuan. Bagi developer, kondisi ini sangat menyulitkan karena produk mereka tidak bisa diserap pasar. Untuk menghindari kerugian yang lebih besar, mereka terpaksa menurunkan harga atau menawarkan insentif besar-besaran.

Kondisi ini diperburuk oleh inflasi harga bahan bangunan yang membuat pengembangan proyek menjadi lebih mahal, sementara harga jual tidak bisa ikut naik. Kombinasi tekanan biaya dan permintaan yang melemah menjadikan banyak pengembang terjebak dalam dilema: terus tahan stok atau rugi dengan menjual murah.

Perubahan Perilaku dan Preferensi Konsumen

Banyak pakar sepakat bahwa generasi muda hari ini, terutama Gen Z dan milenial, memiliki pandangan berbeda soal kepemilikan properti. Mereka tidak lagi menjadikan rumah sebagai simbol kesuksesan, melainkan lebih tertarik pada gaya hidup fleksibel, mobilitas tinggi, dan pengalaman daripada aset fisik.

Inilah yang membuat pasar properti stagnan, terutama di segmen menengah. Gen Z yang melek digital dan kritis terhadap nilai investasi mulai berpikir ulang tentang rasionalitas membeli rumah dengan cicilan puluhan tahun. Mereka lebih memilih menyewa atau tinggal di co-living yang lebih dinamis.

“Banyak pengembang belum mampu beradaptasi dengan mindset baru ini. Mereka masih menawarkan konsep hunian klasik, padahal permintaan pasar berubah,” kata Fitria Rachmadani, pakar gaya hidup urban dan tren hunian.

Akibat perubahan pola pikir ini, permintaan terhadap rumah-rumah besar, khususnya di kawasan pinggir kota, mulai menurun. Ini menjadi salah satu penyebab utama harga tanah di daerah suburban stagnan atau bahkan turun. Properti yang sebelumnya dianggap prospektif mulai kehilangan daya tariknya.

Faktor Lingkungan dan Risiko Bencana

Ada penyebab lain yang lebih emosional, namun sangat signifikan dalam membuat harga properti menurunkan reputasi lingkungan. Begitu sebuah kawasan dilabeli sebagai rawan banjir, rawan longsor, atau dekat zona gempa aktif, harga tanah bisa anjlok tajam dalam waktu singkat.

Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa daerah yang pernah terdampak banjir besar mengalami koreksi harga properti antara 10%–25% dalam kurun 6 bulan setelah kejadian.

Hal serupa juga terjadi di kawasan yang terdampak polusi udara tinggi, kebisingan lalu lintas, atau pencemaran industri. Meskipun secara infrastruktur baik, stigma negatif lingkungan membuat minat pembeli menurun drastis.

Bahkan di kawasan elit, berita tentang kualitas udara buruk atau konflik sosial bisa langsung memengaruhi nilai tanah. Konsumen hari ini lebih kritis dan peduli terhadap aspek kualitas hidup. Mereka tidak hanya membeli properti, tapi juga membeli kenyamanan dan rasa aman.

Related Post

Pilihan Rumah Menantimu

Bingung dengan banyaknya rumah pilihan, budget dan rekomendasi dari Agent terverifikasi ?