Dunia konstruksi adalah dunia yang penuh pilihan. Salah satu dilema klasik yang sering membingungkan para tukang hingga kontraktor adalah pemilihan antara semen dan mortar instan. Di lapangan, perdebatan ini tak hanya soal harga dan merek, tapi menyentuh sisi yang lebih emosional antara kepercayaan pada pengalaman vs kepercayaan pada kemudahan.
Semen atau Mortar Mana Yang Lebih Baik
Semen telah menjadi bagian dari pembangunan sejak ratusan tahun lalu. Ia dikenal sebagai material serbaguna yang digunakan dalam berbagai campuran untuk merekatkan, melapisi, hingga memperkuat struktur bangunan. Tapi semen tidak bisa berdiri sendiri. Ia harus dicampur dengan pasir dalam takaran yang tepat. Di sinilah potensi masalah muncul. Jika campuran tidak konsisten, maka kekuatan dan daya rekat pun bisa bermasalah.
Sebaliknya, mortar atau yang lebih dikenal sebagai plester instan hadir sebagai solusi atas ketidakpastian itu. Produk ini hadir dengan komposisi yang sudah diperhitungkan secara presisi oleh pabrik. Tinggal tambahkan air, aduk, dan gunakan. Bagi tukang, ini seperti mimpi disiang bolong dengan tidak perlu lagi menakar pasir, tidak lagi repot mencampur, dan hasilnya lebih konsisten.
Namun, tidak semua menyambut mortar dengan tangan terbuka. Banyak tukang senior yang merasa keberadaan mortar mengurangi esensi keahlian mereka. “Kalau cuma tinggal aduk, siapa pun bisa jadi tukang,” ujar Pak Darto, seorang pekerja bangunan dengan pengalaman lebih dari 30 tahun. Ucapannya mengandung rasa kecewa sekaligus kecemasan bahwa keterampilan manual yang diwariskan turun-temurun kini mulai tergeser oleh produk pabrikan.
Ada Rupa Dalam Setiap Cerita
Mortar menawarkan efisiensi luar biasa. Proyek bisa selesai lebih cepat karena tukang tidak perlu menghabiskan waktu menakar dan mencampur bahan. Penggunaan pun lebih bersih, sisa material lebih sedikit, dan aplikasi di lapangan menjadi lebih presisi. Untuk proyek besar seperti apartemen atau pusat perbelanjaan, ini jelas menguntungkan. Waktu adalah uang, dan setiap detik yang bisa dihemat adalah nilai lebih.
Namun di balik kemudahan itu, harga menjadi tantangan utama. Mortar dijual dengan harga yang jauh lebih tinggi dibandingkan semen biasa. Bagi pemilik proyek skala kecil atau renovasi rumah, biaya ini bisa terasa berat. Rasa bingung pun muncul apakah harus membayar lebih demi efisiensi, atau tetap menggunakan metode lama demi menekan anggaran?
Menurut Hendra Wijaya, pakar material bangunan dan dosen teknik sipil di salah satu universitas swasta ternama, “Mortar adalah inovasi yang tak bisa dihindari. Tapi bukan berarti semua proyek harus menggunakannya. Perlu dilihat konteks dan kebutuhan masing-masing.” Pendapat ini membuka mata bahwa tidak ada jawaban mutlak yang ada hanyalah keputusan terbaik berdasarkan kondisi masing-masing.
Beberapa pekerja merasa tertolong karena tidak harus membawa dan mengangkut pasir dalam jumlah besar. Di daerah sempit atau lokasi proyek bertingkat tinggi, membawa mortar dalam kemasan justru lebih praktis. Di sisi lain, ada pula tukang yang merasa kehilangan rasa “memiliki” dalam proses bangunan karena semua dibuat terlalu instan.
Cerita Dari Para Pihak Pengembang Perumahan
Dalam satu proyek perumahan subsidi di pinggiran kota, penggunaan mortar menjadi eksperimen besar. Pihak pengembang ingin mempercepat pembangunan untuk mengejar target serah terima. Awalnya semua berjalan lancar, hingga kemudian muncul keluhan dari penghuni terkait dinding yang mudah retak. Setelah ditelusuri, ternyata tukang tidak benar-benar mengikuti instruksi pemakaian mortar. Air ditambahkan sembarangan, dan adukan tidak diaduk hingga homogen. Hasilnya adalah kegagalan fungsi yang menyakitkan.
Hal ini menunjukkan bahwa sekalipun teknologi berkembang, peran manusia tetap penting. Mortar bukan jaminan keberhasilan jika tidak digunakan dengan benar. Bahkan, ia bisa jadi bumerang ketika dianggap sebagai solusi ajaib yang serba bisa.
Namun cerita berbeda datang dari proyek gedung perkantoran di pusat kota. Di sana, mortar digunakan dengan disiplin tinggi. Setiap campuran dikontrol, suhu dan kelembapan diperhatikan, dan pengawasan dilakukan ketat. Hasilnya memuaskan. Dinding rapi, pengerjaan cepat, dan tidak ada revisi besar. Para pekerja pun merasakan manfaatnya yakni mereka bisa fokus pada presisi dan detail karena tidak terlalu lelah dengan pekerjaan dasar.
Di titik inilah, perdebatan antara semen dan mortar menjadi lebih kompleks dari sekadar memilih merek. Ia menyentuh filosofi kerja, efisiensi, harga diri, bahkan masa depan keterampilan manusia. Bagi sebagian orang, ini soal bertahan di tengah arus modernisasi. Bagi yang lain, ini adalah langkah menuju era baru pembangunan.