Rumah bukan hanya sekadar tempat tinggal, melainkan juga simbol identitas dan perjalanan sejarah. Salah satu fenomena menarik di pasar properti Indonesia saat ini adalah munculnya kembali trend gaya rumah dengan sentuhan arsitektur Belanda tempo dulu. Bagi sebagian orang, nuansa kolonial dianggap klasik dan berwibawa, sedangkan bagi yang lain, desain ini dianggap usang dan kurang praktis. Kontras inilah yang membangkitkan perdebatan emosional di kalangan masyarakat.
Jejak Sejarah dan Daya Tarik Emosional
Arsitektur Belanda telah hadir di Indonesia sejak abad ke-18 ketika pemerintah kolonial membangun infrastruktur dan pemukiman di berbagai kota. Ciri khas bangunan tersebut meliputi atap tinggi, jendela besar, dan teras luas yang sejatinya menyesuaikan dengan iklim tropis. Banyak rumah tua di kawasan Jakarta, Bandung, maupun Semarang masih memamerkan gaya ini hingga sekarang.
Bagi sebagian orang, tinggal di rumah dengan desain klasik ini menumbuhkan rasa bangga. Ada kesan mewah, kokoh, sekaligus romantis karena rumah bergaya kolonial seolah menyimpan cerita dari masa lampau. Namun, tidak sedikit juga yang menganggap desain ini ketinggalan zaman. Biaya renovasi tinggi, perawatan rumit, hingga keterbatasan dalam menyesuaikan dengan kebutuhan modern membuat banyak keluarga merasa ragu. Perasaan cinta dan benci inilah yang membuat trend gaya rumah kolonial semakin menarik untuk dibicarakan.
Arsitektur Dengan Nilai Jual Yang Unik
Pakar real estate Panangian Simanungkalit menyebutkan bahwa rumah dengan arsitektur Belanda tempo dulu memiliki nilai jual yang unik. “Hunian bergaya kolonial umumnya memiliki lahan luas dan struktur bangunan kokoh, sehingga harga pasarnya relatif stabil bahkan cenderung naik,” jelasnya.
Data dari Indonesia Property Watch menunjukkan bahwa rumah klasik di kawasan Menteng Jakarta mengalami kenaikan harga rata-rata 8–10% per tahun, lebih tinggi dibanding rumah modern di lokasi serupa. Hal ini karena rumah kolonial sering dianggap aset langka dengan daya tarik sejarah yang kuat.
Namun, ekonom memperingatkan bahwa investasi pada rumah bergaya tempo dulu juga memiliki risiko. Biaya perawatan tahunan bisa mencapai 5–7% dari nilai properti karena penggunaan material kayu tua, cat yang harus sering diperbarui, dan kebutuhan perbaikan struktur. Dari sisi ini, trend gaya rumah kolonial memang bisa menjadi peluang emas bagi kolektor properti, tetapi menjadi beban keuangan bagi keluarga yang mencari efisiensi.
Enggan Terbebani Oleh Cost Operasional
Banyak keluarga muda terutama di tahun 2025 yang justru merasa terbebani ketika mempertimbangkan rumah kolonial. Desain yang besar menuntut biaya listrik lebih tinggi, terutama untuk pendingin ruangan karena ventilasi sering kali tidak seefektif rumah modern. Belum lagi perasaan khawatir ketika mendengar kayu tua keropos atau genteng berusia puluhan tahun yang sewaktu-waktu bisa runtuh.
Menurut survei yang dilakukan REI (Real Estate Indonesia), 42% calon pembeli properti enggan memilih arsitektur Belanda tempo dulu karena khawatir soal biaya renovasi yang tidak terduga. Kekhawatiran ini mencerminkan bahwa meskipun indah, tidak semua orang sanggup menanggung konsekuensinya.
Ada Nilai Estetika dalam Rumah Bergaya Belanda
Di sisi lain, ada pula gelombang apresiasi tinggi terhadap trend gaya rumah kolonial. Kalangan arsitek menyebut bahwa rumah bergaya Belanda tempo dulu memiliki keunggulan estetika yang sulit disaingi desain minimalis modern. Proporsi bangunan yang simetris, jendela kayu berdaun ganda, dan langit-langit tinggi memberi kesan elegan serta lapang.
Tak hanya itu, masyarakat kelas menengah atas kini menganggap rumah kolonial sebagai simbol status sosial. Memiliki rumah dengan desain klasik dianggap sebagai pernyataan gaya hidup, bukan sekadar kebutuhan tempat tinggal. Menurut arsitek Yori Antar, “Mereka yang memilih rumah kolonial sebenarnya sedang membeli cerita, bukan hanya bangunan.” Pernyataan ini menggambarkan sisi emosional yang membuat arsitektur Belanda tetap hidup dalam dunia properti Indonesia.
Pengaruhnya Terhadap Pasar di Indonesia
Kebangkitan arsitektur Belanda tempo dulu tidak berdiri sendiri. Desain kolonial mulai banyak diadaptasi oleh pengembang perumahan baru yang ingin menghadirkan sentuhan klasik dalam format modern. Misalnya, penggunaan fasad kolonial dengan kombinasi interior minimalis agar sesuai dengan kebutuhan generasi milenial.
Ekonom senior Aviliani menjelaskan bahwa strategi ini merupakan bentuk kompromi pasar. “Generasi muda mencari efisiensi, tetapi mereka juga ingin sesuatu yang estetik dan berbeda. Perpaduan modern-kolonial menjadi jawaban.” Fenomena ini menunjukkan bagaimana trend gaya rumah kolonial tidak hanya sekadar nostalgia, tetapi juga strategi bisnis untuk menarik pembeli.
Namun, ada kritik tajam terhadap upaya modernisasi ini. Beberapa pemerhati budaya menilai bahwa mengadaptasi desain kolonial secara setengah-setengah justru merusak esensi sejarahnya. Alih-alih terlihat autentik, rumah malah kehilangan nilai artistik. Perdebatan ini kembali memperkuat sentimen baik dan buruk di balik kembalinya arsitektur kolonial.